JURNALKALIMANTAN.COM, KALSEL – Ada fenomena unik yang biasanya terjadi ketika popularitas dan potensi kemenangan mulai berpihak pada kubu tertentu. Kesetiaan para pendukung seakan diuji dengan kalkulasi logis, ikut tenggelam atau melompat menuju “batang timbul”.
Kedua pilihan memiliki konsekuensi yang sama-sama berat. Mereka yang bertahan akan disanjung dengan sifat konsistensi, akan tetapi kemungkinan untuk dilirik dan dilibatkan oleh kandidat pemenang menjadi kecil.
Sedangkan mereka yang “banting setir” akan dicap dengan sifat inkonsistensi, atau bahkan lebih ekstrem disebut sebagai pengkhianat, mereka memiliki peluang yang lebih besar dalam hal memperjuangkan kepentingan komunitas/kelompok yang ada di lingkungannya, karena berada di kubu pemenang yang akan menjalankan roda pemerintahan pascapelantikan.
Menanggapi fenomena seperti ini, pengamat politik, sosial dan budayawan di Banjarmasin, Noorhalis Majid mengatakan, hal seperti ini sudah lazim terjadi.
“Peribahasa ‘Mambatang Timbul’ itu adalah pengibaratan batang kayu yang akan selalu berada di atas walaupun ombak dan gelombang besar menerjang,” sebutnya saat ditemui di kediamannya, di kawasan Sungai Andai, Kamis (01/04/2021).
Menurutnya, dalam dunia perpolitikan, hal seperti ini tidaklah aneh, karena manusiawi jika seseorang ingin berada di posisi yang berpotensi menang.
“Politikus ulung adalah orang yang biasa mengambil peran dalam keadaan seperti apa pun, dia pasti ingin ikut berpesta di dalam sebuah kemenangan, jadi hal wajar ketika seorang ‘membatang timbul’,” tambah pemilik Rumah Alam ini.
Ketika ditanya apakah sikap tersebut adalah benar atau salah, mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalsel ini hanya tersenyum sambil berujar.
“Di dalam politik jangan ada istilah baperan, benar atau salah adalah sudut pandang, selama cara ‘membatang timbulnya’ tidak menyalahi prinsip yang dipegangnya,” tandasnya.
Baca Juga : Pengamat Politik dan Pemerintahan ULM: Gubernur Harus Berkarakter KALSEL!
Ditemui di tempat terpisah, praktisi alam bawah sadar, M. Alisyahbana mengungkapkan, bahwa fenomena istilah “membatang timbul” dalam setiap kontestasi politik itu juga sering terjadi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Itu sudah biasa terjadi, hanya memang beberapa ada yang menilai ini adalah sebuah pengkhianatan dari sebuah nilai-nilai perjuangan,” ungkapnya.
Disinggung apakah hal ini merupakan sebuah tabiat atau kebiasaan dari individu, menurut praktisi muda kelahiran Kabupaten Banjar ini, “mambatang timbul” adalah hal naluriah di pikiran bawah sadar manusia.
“Sejatinya semua naluri dan dorongan dasar manusia terkandung dalam pikiran bawah sadar. Insting hidup dan mati, menang dan kalah, serta segala kenikmatan lainnya ditemukan di alam bawah sadar. Dorongan emosi seperti ini mempengaruhi cara berpikir dan tindakan seseorang,” sebut praktisi pemberdayaan pikiran bawah sadar dan mikroekspresi asal Bumi Serambi Makkah ini.
“Menurut saya sah-sah saja dengan politik ‘Batang Timbul’, karena manusia pada dasarnya punya naluri untuk mencari kenikmatan. Kenikmatan di sini bisa dikatakan adalah mendekat pada kemenangan, namun setiap orang juga mesti mempertimbangkan nilai-nilai dan prinsip jika ingin berubah haluan,” bijaknya.
(NF.Hamdie / Ahmad MT / HRM )