Banjar  

Dari Banua untuk Dunia : ‘Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing’ sebagai Karakter Generasi Z

Pemerhati Budaya Ali Syahbana. (Foto : Ist)

JURNALKALIMANTAN.COM, BANJAR – Di tengah gempuran arus modernisasi dan derasnya budaya serba instan di era digital, semangat khas urang Banjar “haram manyarah, waja sampai kaputing”, kembali disorot sebagai roh perjuangan yang relevan untuk generasi muda hari ini.

Falsafah yang berakar dari sumpah para pejuang Perang Banjar di bawah komando Pangeran Antasari itu, dinilai Pemerhati Budaya Ali Syahbana bukan sekadar warisan sejarah, melainkan kompas moral dan etos kerja yang masih sangat dibutuhkan di tengah perubahan zaman.

[feed_them_social cpt_id=59908]

Menurut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjar tersebut, “haram manyarah, waja sampai kaputing” tidak boleh berhenti sebagai slogan yang dihafal, tetapi harus hidup sebagai panduan sikap.

Ia menjelaskan, secara makna, “waja” berarti besi dan “kaputing” berarti sampai ke ujung, yang menggambarkan karakter kuat, tahan banting, serta tidak gampang goyah sebelum tujuan tercapai.

Ali menceritakan, di masa lalu, semangat itu menyala dalam perlawanan terhadap penjajah, dalam kemampuan bertahan di daerah sungai dan rawa, hingga dalam ketekunan membangun jaringan dagang dari kampung-kampung tepian sungai.

Sejarah mencatat, semboyan ini lahir sebagai ikrar perjuangan para pejuang Banjar pada abad ke-19, ketika Pangeran Antasari dan pengikutnya bersumpah bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah sesuatu yang “haram” untuk dihentikan, sebelum kehormatan dan kemerdekaan Banua terjaga.

Dari konteks perang itulah, menurut Ali, “haram manyarah, waja sampai kaputing” menjelma menjadi falsafah hidup: pantang menyerah, berhati baja dari awal hingga akhir, tetapi tetap berpijak pada nilai keimanan dan kehormatan.

Seiring waktu, semboyan ini diangkat menjadi identitas resmi dan kultural, dikenal luas sebagai semboyan daerah dan diajarkan dalam berbagai ruang pendidikan serta kegiatan kebudayaan.

Ali menyebut, di era sekarang, medan perjuangan orang Banjar sudah bergeser.

“Tantangan kita bukan lagi sekadar alam dan perang fisik, tetapi perang nilai, perang informasi, dan perang melawan sifat malas serta apatis,” ujarnya dalam sebuah wawancara khusus, Senin (15/12/2025).

Kini, semangat yang dahulu berkobar di medan perang, seharusnya ajak Ali, bisa menjelma dalam kerja keras membangun kualitas sumber daya manusia, daya saing ekonomi, dan integritas di ruang publik, mulai dari desa hingga kota.

Ia menyoroti geliat anak muda Banjar yang kian banyak terjun sebagai pengusaha rintisan, konten kreator, aktivis sosial, hingga profesional di berbagai bidang.

Menurut Ali, jika mereka benar-benar menghayati “haram manyarah, waja sampai kaputing”, mental instan dan gampang menyerah perlahan akan terkikis. Yang lahir adalah generasi yang tahan kritik, berani gagal berkali-kali, dan mau terus belajar tanpa kehilangan akar budaya. Di mata Ali, di sinilah karakter generasi Z Banjar diuji.

“Mereka hidup di era serba cepat, tapi semangatnya jangan ikut-ikutan serba singkat,” terangnya, menekankan bahwa identitas digital tidak boleh memutus hubungan dengan sejarah dan jati diri Banua.

Bagi Ali, generasi muda yang benar-benar siap bersaing di tingkat nasional maupun global adalah mereka yang mampu memadukan kreativitas teknologi dengan daya juang “waja sampai kaputing”.

Namun ia mengingatkan, semangat pantang menyerah tidak boleh berubah menjadi ambisi buta. Tanpa dituntun moral dan akhlak, falsafah ini bisa disalahartikan sebagai pembenaran untuk mengejar tujuan dengan cara apa pun.

Jati diri urang Banjar, tegas Ali, adalah religius dan halus budi bahasanya. Karena itu, keras kepala dalam bekerja dan belajar harus selalu dipandu oleh nilai agama dan budaya, sebagaimana dulu para pejuang mengikat sumpah dengan landasan keyakinan, bukan sekadar keberanian kosong.

Sebagai anggota legislatif, Ali menilai pentingnya peran kebijakan publik dalam merawat identitas budaya sekaligus mendorong adaptasi terhadap zaman. Ia mencontohkan penguatan muatan lokal budaya Banjar di sekolah, dukungan terhadap komunitas seni dan literasi, hingga program pemberdayaan ekonomi yang berakar pada kearifan lokal dan tidak mematikan pelaku ekonomi kecil.

Menurutnya, semangat “haram manyarah, waja sampai kaputing” juga harus diterjemahkan dalam konsistensi memperjuangkan pendidikan berkualitas, pemerataan infrastruktur sampai pelosok, dan penguatan ekonomi kerakyatan di tengah dominasi pemain besar.

Ali juga menyinggung tantangan era digital, ketika banjir informasi sering membuat generasi muda kehilangan fokus dan mudah putus asa. Di media sosial, segala sesuatu tampak serba cepat dan serba berhasil, padahal di balik kisah sukses selalu ada rangkaian kegagalan yang jarang diperlihatkan. Di titik inilah, menurutnya, semangat orang Banjar diuji: apakah memilih bertahan, memperbaiki diri, dan bangkit lagi, atau justru cepat menyerah dan sibuk menyalahkan keadaan.

Ia pun mengajak masyarakat Banjar, khususnya generasi muda, untuk tidak menjadikan “haram manyarah, waja sampai kaputing” sebagai kalimat yang hanya dipajang di spanduk atau dihafal di sekolah.

Semangat itu ajak Ali, harus dihidupkan dalam praktik sehari-hari. Misalnya, pedagang kecil yang tetap jujur dan tekun meski persaingan kian berat; petani dan nelayan yang mau belajar teknologi baru ketika harga hasil panen atau tangkapan turun; serta pelajar yang terus belajar walaupun fasilitas terbatas dan jalan ke sekolah belum ideal. Semua itu, bagi Ali, adalah wujud konkret “waja sampai kaputing” di era modern.

Di ujung wawancara, ia menegaskan, bahwa kemajuan Banua Banjar tidak hanya ditentukan oleh kekayaan alam, tetapi terutama oleh karakter manusianya. Selama semangat urang Banjar tetap terjaga—pantang menyerah, teguh sampai ke ujung, namun tetap santun dan berakhlak—Ali yakin, orang Banjar tidak akan tertinggal.

“Arus zaman boleh berubah, teknologi boleh terus bergerak, tetapi “waja” di dalam dada orang Banjar, jangan sampai karatan,” pungkasnya.

(Tul/Ahmad M)

[feed_them_social cpt_id=57496]