Komdigi Tegaskan Etika AI Sebagai Pilar Redaksi Modern, Dorong Regulasi dan Literasi Nasional

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) RI Nezar Patria pada kegiatan MediaConnect bertajuk “Dari Cepat Jadi Cermat: Menyikapi AI di Meja Redaksi” yang berlangsung di Bandung, Kamis (27/11/2025), (Foto : Elvira/Komdigi)

JURNALKALIMANTAN.COM, BANDUNG – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan pentingnya pemahaman mendalam tentang dampak kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) terhadap proses kerja redaksi, terutama dalam menjaga ketelitian produk jurnalistik di tengah arus informasi yang semakin cepat.

Penegasan tersebut disampaikan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) RI, Nezar Patria, pada kegiatan MediaConnect bertajuk “Dari Cepat Jadi Cermat : Menyikapi AI di Meja Redaksi” yang digelar di Bandung, Kamis (27/11/2025).

Nezar menjelaskan bahwa AI kini menjadi alat bantu efektif yang mampu meningkatkan efisiensi kerja jurnalistik, mulai dari koreksi sintaksis, translasi bahasa, transkripsi wawancara, hingga analisis sentimen awal. Dengan otomatisasi ini, jurnalis dapat lebih fokus pada tugas inti seperti investigasi, verifikasi sumber, dan penyusunan narasi mendalam.

Namun demikian, kecanggihan AI generatif juga memunculkan kekhawatiran baru terkait hilangnya otentisitas dan peran intelektual manusia dalam proses kreatif.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Komdigi tengah merampungkan dua instrumen penting—Peta Jalan Nasional AI dan Panduan Etika AI—yang saat ini memasuki tahap finalisasi menjadi Peraturan Presiden (Perpres).

“Dua dokumen ini sedang kita siapkan untuk jadi Peraturan Presiden. Saat ini sedang dibahas di Kementerian Hukum,” ujar Nezar.

Kerangka hukum tersebut akan memperkuat ekosistem regulasi yang sudah ada, termasuk Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Undang-Undang ITE. Di tingkat industri, Dewan Pers dan berbagai perusahaan media juga telah menerbitkan panduan internal untuk memastikan penggunaan AI secara bertanggung jawab.

Nezar menekankan bahwa salah satu ancaman terbesar adalah potensi penyalahgunaan AI untuk misinformasi, disinformasi, dan penipuan berbasis deepfake. Untuk itu diperlukan kolaborasi antarlembaga dan peningkatan literasi publik guna memperkuat ketahanan informasi nasional.

Pemerintah juga mendorong pengembangan Sovereign AI (AI Berdaulat) sebagai upaya memastikan Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemain dalam industri AI global.

Sementara itu, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menilai bahwa AI telah berkembang menjadi mitra yang mampu membentuk pola pikir, membuat prediksi, hingga mengambil keputusan kompleks. Tantangannya kini bukan sekadar teknis, tetapi juga filosofis dan sosial.

“Pemerintah memandu pengembangan AI agar berlandaskan prinsip kemanusiaan, inklusivitas, dan persatuan bangsa, termasuk memastikan bahwa manfaat teknologi meningkatkan kemakmuran dan bukan menciptakan pengangguran,” ujarnya.

Dalam diskusi yang sama, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Haryo Damardono, menuturkan bahwa inovasi AI membawa peluang sekaligus risiko besar bagi industri media. Ia mencontohkan bagaimana biaya penerjemahan dapat turun lebih dari 90 persen berkat AI, namun berpotensi menghilangkan sejumlah pekerjaan.

Untuk menjaga integritas redaksi, Kompas menerapkan pedoman etika internal yang membatasi penggunaan AI hanya sebagai alat brainstorming dengan pengawasan manusia, serta menggunakan deteksi khusus untuk menolak naskah yang terlalu bergantung pada AI.

“Jurnalisme sejati di era teknologi memerlukan pelatihan, dedikasi terhadap kebenaran, dan kerja lapangan agar tidak tergantikan oleh konten buatan mesin yang generik,” ujar Haryo.

Sementara itu, Creative Advisor sekaligus AI Specialist, Motulz Anto, menguraikan perbedaan mendasar antara AI generatif dan kreativitas manusia. AI bekerja berdasarkan logika algoritma, statistik, dan penalaran biner, sementara kreativitas manusia lahir dari pengalaman, emosi, proses, dan etika—unsur yang tidak dapat sepenuhnya direplikasi oleh mesin.

Motulz menegaskan bahwa benteng terakhir manusia dalam menghadapi dominasi AI adalah etika, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan inovasi