JURNALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Pandemi Covid-19 menjadi masa yang sulit bagi sejumlah orang, terutama yang kehilangan pekerjaan sehingga kesulitan ekonomi. Ketika ada tawaran bantuan berupa invetasi dengan untung besar dan tanpa risiko, maka mudah tergiur.
Hal ini diungkapkan Andika Prassetia, Kepala Sub Bagian EPK (Edukasi Perlindungan Konsumen) Kantor OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Regional 9 Banjarmasin.
“Investasi tanpa risiko, kita kasih uang kemudian tunggu hasilnya tanpa harus kita kerja. Ada juga arisan dapat untung 20 persen, misalnya. Orang yang sedang kesulitan ekonomi jadi tidak bisa berpikir jernih, akhirnya ikut berinvetasi dan ujungnya terjebak penipuan,” ujar Andika.
Andika memaparkan seputar investasi itu pada acara Obligasi (Obrolan Lintas Generasi) session lima yang disiarkan live melalui Instagram Bank Kalsel, Jumat (25/2/2022).
Dipandu host Hilary Ligina dan Muhammad Mustakim, obrolan santai tersebut mengangkat tema Menjadi Milenial yang Cerdas Berinvestasi.
Lanjut Andika, Investasi ilegal sekarang trennya lagi naik. Data OJK jumlah kerugian akibat invetasi ilegal itu totalnya Rp114 triliun!
“Angka itu diakumulasi dari seluruh kasus di Indonesia sejak 2010 hingga sekarang, baik kasus di perkotaaan maupun perdesaaan,” bebernya.
Sebenarnya, ungkap Andika, kasus investasi ilegal di Indonesia dimulai sejak 1950. Namun baru dipetakan oleh OJK sejak 2010. Jadi bisa dibayangkan betapa besar kerugian kalau ada datanya sejak era 50-an tersebut.
Berdasar kasus-kasus invetasi ilegal yang terjadi, OJK melakukan analisa, apa penyebab masyarakat bisa terjebak. Ternyata tingkat literasi atau pengetahuan masyarakat tentang keuangan sangat rendah.
Survey kami lakukan sejak 2019, diketahui bahwa hanya 38 persen masyarakat yang paham tentang keuangan. Jadi sebanyak 62 persen masyarakat ternyata tidak paham.
“Nah, mereka inilah target empuk dari para pelaku investasi ilegal,” papar Andika.
Uniknya pula, mereka yang mengerti keuangan juga masih ada yang bisa terjebak. Apalagi yang tidak paham tadi.
Ada dua hal yang memicu masyarakat mau berinvetasi tanpa berpikir panjang, pertama adalah karena latah atau ikut-ikutan.
Apalagi sekarang ada saja invetasi ilegal yang di-influencer atau dipromosikan oleh selebgram.
“Generasi milenial lebih dominan cari referensi berbagai hal dari media sosial, jadi apa yang ada di media sosial mudah memengaruhi dan seolah menjadi sebuah kebenaran, padahal harus kita cek ricek dulu,” beber Andika.
Pemicu kedua adalah nafsu ingin dapat banyak dalam tempo cepat atau serakah. Padahal tidak ada invetasi yang untung cepat dengan nilai besar dan bebas risiko.
“Prinsip yang selalu berlaku adalah high risk high return atau usaha yang untungnya besar pasti risikonya juga besar,” jelas Andika.
Bagaimana mendeteksi sebuah invetasi yang ditawarkan apakah resmi atau bodong? Menurut Andika tipsnya adalah 2L yaitu Legal dan Logis.
Legal itu resmi ada izin dari regulator terkait. Logis itu berarti keuntungan dan risikonya masuk akal.
“Memang banyak investasi yang menunjukan legalitas berupa Akta Pendirian Perusahaan dengan SK HAM, TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), tapi itu belum cukup. Mesti cek dulu apakah ada izin dari regulator terkait. Misal terkait investasi apakah ada izin OJK atau kalau itu koperasi apakah ada izin dari dinas koperasi?” terang Andika.
Editor : Ahmad MT














