Oleh: M. Ali Syahbana
Ketua Yayasan Syafaat Bukhari Muslim | Anggota Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Banjar
JURNALKALIMANTAN.COM,BANJAR – Dalam pemikiran Islam klasik, manusia tidak semata dipahami sebagai makhluk rasional, tetapi juga sebagai pencari makna. Kehidupan bukan hanya sekumpulan peristiwa yang dijalani, melainkan ruang-ruang pengalaman batin yang senantiasa mengandung pertanyaan: dari mana kita datang, untuk apa hadir di dunia ini, dan ke mana hendak kembali?
Imam al-Ghazālī-seorang pembaru besar dalam sejarah Islam-dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengingatkan bahwa “ilmu yang tidak membuahkan amal akan menjadi hujjah atas pemiliknya, bukan penolong baginya.” Ia menekankan bahwa ilmu sejati adalah yang menyinari batin, membimbing pada keikhlasan, dan menuntun manusia menuju kemuliaan akhlak. Tanpa adab dan niat yang bersih, ilmu justru bisa menjadi hijab-penghalang dari kebenaran itu sendiri.
Dalam bayangan seperti itu, agama menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sistem atau simbol. Ia hadir dalam bentuk laku-dalam cara manusia berlaku terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap dunia yang dipercayakan padanya. Bukan semata-mata dalam kata-kata yang tinggi, tetapi dalam ketulusan sikap sehari-hari: mendengar, menemani, dan menjaga keseimbangan batin di tengah realitas yang rumit.
Zaman modern membawa banyak hal baru: keterbukaan informasi, perubahan nilai, hingga pergeseran cara orang berhubungan dengan tradisi. Tetapi kebutuhan akan makna tetap ada. Bahkan mungkin lebih mendesak, karena semakin banyak orang merasa tercerabut dari akar spiritualnya. Agama, dalam konteks ini, bisa menjadi ruang pulang-asal ia tidak kehilangan jiwanya sebagai jalan welas asih dan keikhlasan.
Dalam lanskap multikultural seperti Indonesia, refleksi terhadap dakwah menjadi penting. Bukan dalam arti mengubah hakikatnya, tetapi membaca kembali kehadirannya dalam ruang sosial yang semakin kompleks. Tradisi Nahdlatul Ulama memberikan warisan penting tentang cara-cara halus merawat keberagaman-bukan dengan dominasi, tetapi dengan prinsip tawassuṭ, tawāzun, dan tasāmuḥ. Prinsip-prinsip ini bukan hanya etika, tetapi cara membaca realitas yang penuh nuansa.
Mungkin inilah saatnya sebagian dari kita, terutama generasi muda yang tumbuh dalam keragaman, ikut merawat ruang-ruang kebersamaan. Tidak selalu lewat program besar atau narasi yang kuat. Terkadang cukup dengan hadir dalam dialog, mendengarkan umat dengan empati, atau menyambung komunikasi di tengah keluarga yang renggang. Hal ini senada dengan sabda Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم: “Barangsiapa ingin diluaskan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menjaga silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Gagasan tentang dakwah bisa kita lihat bukan hanya dari sisi penyampaian, tetapi dari sisi kehadiran. Dakwah tidak harus selalu tampil dalam bentuk seruan, bisa juga dalam wujud ketulusan yang tidak menghakimi. Di antara keberagaman cara berpikir dan beriman, ruang-ruang tenang yang jujur justru semakin dibutuhkan-tempat di mana gagasan bisa bertemu tanpa merasa harus saling mengalahkan.
Zaman boleh bergerak, asal yang hakiki tetap melekat.