JURNALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Jurnalis perempuan masih sangat rentan mengalami kekerasan, khususnya kekerasan seksual, di lingkungan kerja.
Isu ini mengemuka dalam Diskusi Publik: Membangun Ruang Aman untuk Jurnalis Perempuan yang digelar di Gedung Kalimantan Post, Rabu (28/5/2025).
Berdasarkan hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2022, dari 852 responden perempuan, sebanyak 80 persen mengaku pernah mengalami kekerasan, baik dalam bentuk pelecehan maupun kekerasan seksual.
“Hal ini disebabkan oleh minimnya keadilan gender, tingginya dominasi di tempat kerja, serta kurangnya ruang aman bagi jurnalis perempuan,” ujar Soraya Alhadi, Kepala Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Persiapan Kalimantan Selatan.
Soraya menambahkan bahwa ketimpangan relasi gender menjadi akar persoalan kekerasan seksual di dunia kerja. “Masalah ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan perusahaan,” tegasnya.
Bentuk kekerasan yang dialami pun beragam, mulai dari komentar kasar, body shaming, pesan teks atau video bernuansa seksual, hingga tindakan seksual yang lebih serius.
Ketua AJI Persiapan Kalsel, Rendy Tisna, juga menyatakan bahwa jurnalis perempuan sangat rentan menjadi korban pelecehan, terutama saat berinteraksi dengan narasumber laki-laki. “Karena itu, diperlukan standar peliputan yang berperspektif gender,” ujarnya. Rendy menegaskan, AJI terus berkomitmen menyediakan ruang aman bagi kelompok rentan, khususnya jurnalis perempuan.
Sementara itu, Hj. Sunarti dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalsel mengungkapkan bahwa ancaman kekerasan terhadap jurnalis perempuan sering terjadi saat mereka menjalankan tugas di lapangan.
“Jurnalis perempuan itu sering dianggap ‘enak’, padahal tetap berisiko tinggi,” ujar wartawan senior tersebut. Ia mengapresiasi kolaborasi AJI dengan FJPI dalam menyediakan ruang curhat bagi jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman.
Anggota FJPI Kalsel, Nanik Hayati, menambahkan bahwa diskriminasi masih terjadi di beberapa perusahaan media. “Mulai dari perbedaan gaji, asuransi, hingga fasilitas lainnya. Bahkan, kesempatan untuk menduduki posisi strategis di redaksi pun masih belum setara,” jelasnya.
Diskusi ini dimoderatori oleh Eva Rizkiyana dan turut menghadirkan Ketua Psikolog Klinis Wilayah Kalsel, Melinda Bahri, sebagai narasumber.(YUN)














