JURNALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Sejumlah petinggi hingga tokoh penting, di antaranya Wakil Ketua Komisi V DPRI RI Syaifullah Tamliha, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina, Kuasa Hukum Masyarakat M. Pazri, Pakar Hukum Tata Negara Ichsan Anwari, perwakilan DPRD Kota Banjarmasin, Pengurus Forum Kota (Forkot) Banjarmasin Nisfuady, Moderator Iqbal, Camat se-Kota Banjarmasin, Lurah se-Kota Banjarmasin, Dewan 52 Kelurahan se-Kota Banjarmasin, tokoh masyarakat, hingga jurnalis, berhadir dalam rangka ini silaturahmi 52 dewan kelurahan, Forkot, dengan Pemkot Banjarmasin, sekaligus diskusi umum peninjauan kembali UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalsel, di Aula Balai Kota Banjarmasin, Kamis (21/7/2022).
Ketua Forkot mengungkapkan, maksud dan tujuan kegiatan ini lebih kepada tersampaikannya visi misi Pemkot Banjarmasin, dan masyarakat menjadi lebih mencintai Kota Seribu Sungai.
Selain itu, berikrar bersama menjaga situasi kamtibmas dalam menyikapi masa persidangan di MK.

Senada, Wali Kota Ibnu Sina menegaskan, pihaknya optimis memenangi gugatan, lantaran tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan undang-undang tersebut, sehingga menganggap adanya tahapan yang terlewati, yaitu tidak ada dokumen rencana Pemprov Kalsel yang ingin memindah ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru, dan yang ada hanyalah perpindahan lokasi perkantoran.
“Gugatan sudah masuk tahap empat. Selanjutnya mendengarkan keterangan Wali Kota Banjarbaru pada 3 Agustus 2022 mendatang,” kata Ibnu.
Sementara itu, Syaifullah Tamliha mengatakan, UU tersebut dirancang dan diserahkan ke Komisi II DPR RI, namun dirinya menyayangkan Kota Banjarmasin tidak dilibatkan.
“Ya, Pemkot Banjarmasin merasa dirugikan dari sisi pembagian anggaran,” sebutnya
Kuasa Hukum Forkot Banjarmasin M. Pazri mengajak masyarakat harus kritis dalam proses hukum jika dinilai tidak sesuai aturan.
Seperti halnya dalam permasalahan undang-undang ini, yang menurutnya ada dugaan pelanggaran prosedur, apalagi dasar pembuktian pembentukan peraturannya hanya ada 1 kali uji publik, yang dianggap tidak efektif bagi warga Banjarmasin, ditambah ada kesan tertutup dalam prosesnya, sehingga diduga melanggar asas keterbukaan.
“Ada ketidakjelasan tujuan pemindahan Ibu Kota Kalsel tersebut. Setidaknya pemindahan harus melibatkan suara dari 13 kabupaten/kota se-Kalsel,” pungkasnya.
(Saprian)














