Dugaan Pemerkosaan oleh Dokter PPDS, Ali Syahbana : Alarm Etika Profesi Medis

Terduga pelaku yang diamankan. (Foto : Antara)

JURNALKALIMANTAN.COM, BANJAR – M. Ali Syahbana, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi, di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Tersangka, yang merupakan residen dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, diduga membius tiga korban—dua pasien dan satu anak pasien—untuk kemudian melakukan tindak asusila di dalam ruang pelayanan medis. Kejadian ini telah memicu kejut nasional, terutama karena berlangsung di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan berintegritas.

2 days ago
3 days ago
4 days ago
5 days ago
1 week ago
1 week ago

“Relasi antara pasien dan dokter dibangun atas dasar kepercayaan dan tanggung jawab etis. Ketika itu dilanggar, maka yang terciderai bukan hanya korban, tetapi juga martabat profesi dan legitimasi sosial dunia medis,” ujar Ali.

Anggota DPRD Banjar Ali Syahaban. (Foto : Dok)

Sebagai tokoh publik yang aktif dalam isu pemikiran sosial dan etika, ia menilai kasus ini sebagai bentuk krisis moral yang harus menjadi titik evaluasi menyeluruh bagi sistem pendidikan dan pengawasan tenaga kesehatan.

“Ini harus menjadi alarm keras bagi profesi medis. Kita tidak bisa hanya berhenti pada penghukuman pelaku, tapi juga harus menutup celah-celah kelengahan yang mungkin tumbuh dalam sistem,” tegas Ali.

Ia pun menyambut baik langkah Kementerian Kesehatan yang menghentikan sementara program PPDS Anestesi di RSHS, dan mendukung upaya pencabutan izin praktik tersangka oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ia menyebut hal ini sebagai bagian dari pemulihan etika profesi dan rasa aman masyarakat.

Di akhir pernyataannya, Ali Syahbana menyerukan sikap moral kolektif terhadap kasus kekerasan seksual.

“Diam bukan sikap netral. Dalam isu kekerasan seksual, diam adalah bentuk pembiaran. Kita semua—baik negara, institusi, maupun individu—bertanggung jawab memastikan bahwa ruang pelayanan publik benar-benar aman, beretika, dan manusiawi,” tutupnya.

(Tul/Ahmad M)