Bingka Kacung : Si Harum Manis dari Kelua yang Melegenda Sejak 1985

"Nanang Muslim (Kiri) saat menjelaskan asal usul bingka Kacung pada Aksara Rasa: pelatihan penulisan kuliner khas Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Komunitas Pustaka (12/10)

JURNALKALIMANTAN.COM, TABALONG – Siapa yang tak kenal Bingka Kacung? Kue berbentuk kelopak bunga berwarna cokelat kemerahan dengan cita rasa manis dan aroma khas ini menjadi salah satu kuliner legendaris asal Kelua, Kabupaten Tabalong. Di balik kelezatannya, tersimpan kisah unik yang menarik untuk disimak.

Cerita tentang asal-usul Bingka Kacung ini disampaikan langsung oleh Nanang Muslim, generasi kedua pembuat Bingka Kacung, saat menjadi narasumber dalam Pelatihan Penulisan Kuliner Khas Kalimantan Selatan di Aula Dispersip Tabalong, Minggu (12/10/2025).

Menurut Nanang, awal mula kue ini dikenal pada tahun 1985 dengan nama Bingka Bu Samiyah, diambil dari nama sang ibu. Kala itu, kue ini mulai dijual secara komersial ke masyarakat luas. Seiring waktu, namanya sempat berubah menjadi Bingka Kelua, namun kemudian diganti menjadi Bingka Kacung sekitar tahun 1990-an.

“Nama ‘Kacung’ diambil dari gelar ayah saya yang keturunan Madura. Dalam bahasa Madura, anak laki-laki biasa dipanggil ‘kacung’,” ujar Nanang.

Selain kisah namanya yang unik, proses pembuatan Bingka Kacung juga masih sangat tradisional. Hingga kini, Nanang tetap mempertahankan cara lama dengan menggunakan tungku kayu bakar dari pohon karet dan tangkupan tanah liat sebagai alat pemanggang.

“Kayu karet lebih lama jadi abu, jadi panasnya merata dan hasil bingkanya matang sempurna,” jelasnya. Ia bahkan pernah mencoba oven modern, namun hasilnya kurang memuaskan karena tekstur bingka menjadi padat, tidak lumer seperti ciri khas aslinya.

Untuk varian rasa, Bingka Kacung memiliki dua jenis unggulan: bingka kentang dan bingka telur. Meski bahan dasarnya umum—seperti tepung, telur, kentang, dan gula merah—Nanang menggunakan gula aren agar aromanya lebih harum dan cita rasanya lebih khas.

Kini, Nanang dibantu delapan orang karyawan yang bertugas memanggang, sementara ia sendiri menyiapkan adonan sebelum berangkat mengajar di sekolah. Dari usaha turun-temurun ini, ia mampu meraih omzet sekitar Rp2 juta per hari di hari biasa, dan melonjak hingga Rp9–12 juta per hari selama bulan Ramadan. Harga per biji Bingka Kacung dibanderol Rp30 ribu.

Nanang berharap resep keluarga ini tetap lestari. Saat ini, putra sulungnya yang masih kuliah di jurusan Sekolah Luar Biasa sudah mulai dipercaya untuk membantu membuat adonan.

“Harapan saya, warisan rasa dan cara tradisional ini bisa terus dijaga dan diteruskan oleh generasi berikutnya,” ujarnya menutup cerita.

Jadi, kalau kamu berkunjung ke Tabalong, belum lengkap rasanya tanpa mencicipi Bingka Kacung, si harum manis khas Kelua yang menggoda selera.

(Husnan)