Opini  

Memahami Kultur Pesantren di Tengah Kesalahpahaman Publik

Oleh : Muhammad Abdillah

Media sosial beberapa hari ini diramaikan dengan kontroversi program Trans7 yang menayangkan video seorang kyai dari Pondok Pesantren Lirboyo, salah satu pesantren tertua di Indonesia. Narasi yang digunakan dalam program tersebut dianggap tidak pantas dan cenderung merendahkan, terutama karena ditayangkan menjelang Hari Santri Nasional pada 22 Oktober. Kontroversi ini memicu gelombang protes dari kalangan santri dan alumni pesantren, yang kemudian memunculkan gerakan boikot terhadap stasiun televisi tersebut.

Di tengah perdebatan ini, muncul berbagai tanggapan dari beragam kalangan. Sayangnya, sebagian diskusi di media sosial menunjukkan adanya kesalahpahaman mendasar tentang kultur dan sistem pendidikan pesantren. Komentar-komentar di Instagram, Facebook, TikTok, dan platform lainnya menunjukkan bahwa banyak pihak yang belum sepenuhnya memahami dinamika pesantren memberikan penilaian berdasarkan perspektif yang terbatas. Ada yang menyebut hubungan kyai-santri sebagai feodalisme, khidmah (pelayanan di pesantren) sebagai perbudakan, dan menuduh para kyai menumpuk kekayaan dari sumbangan masyarakat.

Dalam khazanah keilmuan Islam, ada ungkapan bijak berbahasa Arab: “Man takallama bighoiri fannihi, ya’ti bil ‘ajaib” yang bermakna “Siapa yang berbicara bukan pada bidang keahliannya, maka ia akan menghasilkan pernyataan yang aneh.” Ungkapan ini relevan untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya memahami sebuah sistem sebelum memberikan penilaian.

Klarifikasi Kesalahpahaman

Feodalisme atau Penghormatan Berbasis Ilmu?

Tuduhan feodalisme terhadap hubungan kyai-santri perlu dikaji secara lebih mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat, bukan prestasi. Dalam konteks pesantren, realitasnya justru berbeda.

Gelar “kyai” bukanlah warisan otomatis atau jabatan formal yang diberikan oleh institusi. Seseorang mendapatkan pengakuan sebagai kyai melalui proses panjang: menuntut ilmu di berbagai pesantren, berguru kepada banyak ulama, mendalami ribuan kitab kuning, dan yang terpenting, mendapat pengakuan  dari masyarakat atas keilmuan dan akhlaknya. Masyarakat sendirilah yang secara organik memberikan “gelar” tersebut tanpa diminta.

Memang benar beberapa pesantren diwariskan kepada keturunan kyai, namun proses suksesi ini tidak bersifat otomatis. Calon penerus harus memiliki keilmuan yang mumpuni, integritas moral, dan kapasitas kepemimpinan. Banyak kasus di mana putra kyai tidak mewarisi kepemimpinan pesantren karena tidak memenuhi syarat tersebut, dan justru santri senior atau kerabat lain yang lebih kapabel yang dipercaya.

Hubungan antara kyai dan santri lebih tepat dipahami sebagai hubungan guru-murid yang dilandasi rasa hormat (ta’dzim) terhadap ilmu, bukan ketundukan buta terhadap kekuasaan. Dalam tradisi Islam, menghormati guru adalah bagian dari adab menuntut ilmu, karena ilmu diyakini akan lebih mudah terserap dengan sikap tawadhu’ dan penghormatan. Ini berbeda dengan sistem feodal yang berbasis hierarki kekuasaan dan eksploitasi ekonomi.

Khidmah : Eksploitasi atau Pendidikan Karakter?

Tuduhan perbudakan terhadap praktik khidmah menunjukkan ketidakpahaman tentang filosofi dan mekanisme sistem ini. Khidmah adalah aktivitas pelayanan yang dilakukan santri di pesantren, seperti memasak, membersihkan area pesantren, membantu kegiatan dapur umum, atau memelihara fasilitas. Namun, khidmah memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari eksploitasi tenaga kerja:

Pertama, khidmah bersifat edukatif dan rotasional. Setiap santri mendapat giliran berbeda-beda, dengan durasi terbatas (biasanya beberapa jam per minggu), sehingga tidak mengganggu waktu belajar mereka. Justru melalui khidmah, santri belajar nilai-nilai tanggung jawab, kerja sama, kemandirian, dan keikhlasan dalam bekerja.

Kedua, khidmah adalah bagian dari kompensasi pendidikan. Mayoritas pesantren menerapkan biaya pendidikan yang sangat rendah, bahkan banyak yang gratis. Khidmah menjadi salah satu cara pesantren untuk menekan biaya operasional sambil mendidik santri tentang nilai kerja dan pengabdian.

Ketiga, sistem khidmah bersifat sukarela dalam arti santri dan orang tua memahami dan menyetujui sistem ini sejak awal. Tidak ada paksaan untuk tinggal di pesantren, dan santri bebas pindah jika merasa tidak cocok dengan sistem yang ada.

Tentu saja, kita harus jujur mengakui bahwa mungkin ada kasus penyalahgunaan di beberapa pesantren, di mana santri dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi pribadi atau diberi beban kerja yang berlebihan. Kasus-kasus seperti ini memang perlu dikritik dan diperbaiki. Namun, menyamaratakan seluruh praktik khidmah sebagai perbudakan adalah generalisasi yang tidak adil dan kontraproduktif.