Lulus kuliah 1986, Hana bersama beberapa teman merintis usaha agribisnis di kawasan Pengalengan, Jawa Barat. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, usaha di lahan pegunungan itu malah merugi. Pada 1990 tatkala perbankan banyak merekrut banyak sarjana pertanian, Hana pun tertarik melamar dan ia diterima di Bank Dagang Negara (BDN) Jakarta.
“Selama setahun kami belajar. Dan saya tak masalah menjadi orang bodoh yang selalu banyak bertanya kepada siapapun untuk mendapat banyak ilmu serta pengalaman dari para senior. Karena prinsip saya adalah serius dalam menggeluti pekerjaan,” ujar anak kelima dari tujuh bersaudara ini.
Kinerjanya mendapat perhatian atasan sehingga seiring waktu ia pun terpilih mengikuti Officer Development Program yang para pesertanya ditempa tiga bulan dan praktek sembilan bulan di kantor cabang.
“Kami mendapat tugas berkaitan praktik teller, customer service, pembukuan, ekspor impor dan sebagainya,” papar Hana
Karena punya komitmen kuat, kembali Hana mendapat kenaikan pangkat lebih cepat dari kawan-kawan seangkatan. Hingga pada 1998 tatkala merger bank-bank pemerintah dan terbentuknya Bank Mandiri, Hana salah satu karyawan yang mendapat kenaikan jabatan.
“Saat itu ada empat bank dimerger. Saya termasuk yang dites dan alhamdulillah menduduki salah satu jabatan,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, pada 2005 Hana diangkat menjadi Direktur BRI Syariah. Dan di situ ia merasakan hikmah sebagai sarjana pertanian mampu mengangkat prestasi bank yang ia pimpin karena keberpihakan terhadap masyarakat pertanian.
“Saat itu statisik BRI Syariah untuk sektor pertanian adalah Rp1,3 triliun. Sementara Bank Syariah Mandiri Rp1,2 triliun. Itu karena kami di BRI Syariah berani masuk ke sektor pertanian,” bebernya.