TCT Tolak Mediasi, AGM Usahakan Sopir Hauling & Pekerja Tongkang Beraktivitas lagi

JURNALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Upaya mediasi yang dilakukan DPRD dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) terkait penutupan akses jalan _hauling underpass_ Tatakan Km 101 Kabupaten Tapin oleh PT Tapin Terminal Coal (TCT), berakhir buntu.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar hingga Selasa malam kemarin (04/01/2022), Direktur Utama dan Komisaris PT Antang Gunung Meratus (AGM) hadir dalam pertemuan. Sementara TCT hanya diwakilkan Markus Antonius Wibisono sebagai kuasa direksi.

Padahal dalam suratnya, Ketua DPRD Kalsel tegas meminta kehadiran pengambil keputusan perusahaan agar persoalan dapat tuntas hari itu. Bahkan saat audiensi dengan asosiasi truk hauling dan asosiasi tongkang akhir bulan lalu, Ketua DPRD Supian H.K. mengancam akan membekukan izin perusahaan yang tidak menghadirkan pengambil keputusan.

Lantaran gagal mencapai titik temu, Ketua DPRD Kalsel berinisitif melakukan pertemuan segitiga. Sayangnya setelah berjalan tiga jam, pembicaraan tetap tidak membuahkan hasil.

Direktur Utama AGM Widada mengatakan, penutupan jalan itu sangat berdampak ke masyarakat Kalsel, khususnya Asosiasi Jasa Angkutan Batu Bara dan Tongkang, yang selama ini bekerja sama dengan pihaknya. 

”Setelah sebulan lebih tidak bekerja, pasti besar dampaknya terhadap perekonomian masyarakat,” katanya.

Ia juga menyampaikan, pihaknya sulit untuk memenuhi tuntutan TCT karena nilainya sangat tidak wajar dan tidak berdasar. Apalagi masalah ini sedang dalam proses sengketa hukum di Pengadilan Negeri Tapin.

“Ini adalah sengketa perjanjian yang ranahnya perdata. Yang kami pikirkan saat ini nasib ribuan pekerja yang jadi korban penutupan akses jalan _hauling_ di Km 101 Tapin itu,” terang Widada usai RDP.

AGM dan TCT sebenarnya telah terikat dalam perjanjian penggunaan tanah untuk jalan _hauling_ batu bara yang diteken pada 11 Maret 2010. TCT adalah pemilik baru PT Anugerah Tapin Persada (ATP) yang menandatangani perjanjian itu.

Inti dari perjanjian tersebut adalah tukar pakai tanah antara AGM dan ATP, di mana ATP berhak menggunakan tanah AGM seluas 1.824 meter persegi di sebelah timur _underpass_ Km 101 untuk jalan _hauling_ ATP. Kemudian, AGM berhak memakai tanah ATP di sebelah barat.

Sebagai bagian dari kesepakatan, terdapat tiga poin yang mengikat kedua perusahaan. Pertama, perjanjian berlaku sepanjang tanah tukar pakai masih digunakan untuk jalan _hauling_. Kedua, perjanjian tidak berakhir dengan berpindahnya kepemilikan tanah. Ketiga, perjanjian berlaku mengikat kepada para pihak penerus atau pengganti dari pihak yang membuat perjanjian.

Selama lebih dari 10 tahun sejak diteken, baik AGM maupun TCT dapat menjalankan bisnisnya secara berdampingan. Tapi pada 28 November 2021, akses jalan _hauling_ itu tertutup garis polisi. Ini akibat adanya laporan TCT ke Polda Kalsel terkait dugaan tindak pidana penyerobotan tanah dan kemudian dilakukan portal besi secara sepihak oleh TCT di jalur _hauling_.

Kuasa Hukum TCT Tri Hartanto dalam RDP mengungkapkan, perusahaannya sedang dalam kondisi sulit dan memiliki banyak kewajiban, termasuk utang bank.

“Kami juga ingin _survive_, kami juga punya karyawan, kami juga investasi, kami juga punya tanggungan di bank. Ini yang harus dipahami. Kami ingin diselesaikan _business to business_,” ungkapnya.

Lantaran pertemuan tiga pihak berlangsung tertutup, belum jelas permintaan TCT terkait penyelesaian bisnis yang dianggap tidak wajar dan tidak berdasar oleh AGM. Yang jelas, ribuan pekerja dan keluarganya kini menderita usai portalisasi jalur _hauling_ tersebut. (SN)