Hilangnya Nasib Korban Tragedi 23 Mei, di Tengah Memanasnya Kejatuhan Orde Baru

Kerusuhan Mitra
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, S.Pd, M. Hum
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, S.Pd, M. Hum

Kejadian yang sama sekali tidak terduga ini, bermula dari kampanye putaran terakhir bagi partai Golongan Karya (Golkar), yang jatuh pada hari Jumat. rencananya kampanye di Banjarmasin itu dilaksanakan besar-besaran dan dihadiri Menteri Sekretaris Kabinet Drs. H. Sya’dillah Mursyid, M.P.A. dan K.H. Hassan Basri (Ketua Majelis Ulama Indonesia pusat).

Ketika massa berpawai menuju tempat kampanye di lapangan Kamboja dan melewati jalan di depan Masjid Noor yang biasa ditutup, karena digunakan oleh sebagian jemaah yang berada di luar masjid untuk salat Jumat, akhirnya kerusuhan itu pun dimulai.

Raungan suara sepeda motor yang melintasi jalan di saat jemaah belum selesai melaksanakan salat Jumat, memicu kemarahan jemaah. Warga yang merasa dilecehkan serta-merta menyerbu dan mengejar yang berpawai, membubarkan mereka yang berkumpul di lapangan Kamboja dan membakar atribut Golkar. Peserta kampanye, tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang mengenakan baju atau kaus kuning, dipaksa melepaskan pakaiannya di bawah ancaman senjata tajam, seperti celurit, golok, dan sebagainya.

Situasi memanas. Massa yang melengkapi dirinya dengan senjata tajam mulai bergerak ke pusat kota. Pergerakan ke pusat kota juga diikuti dengan perusakan. Bangunan, mobil, dan fasilitas umum yang dilalui massa tak luput dari amukan. Bentrokan fisik pun menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Ruko-ruko dirusak dan Mitra Plaza dibakar. Aksi penjarahan pun tak terhindarkan. Listrik yang padam ikut menjadikan suasana kota kian mencekam. Pemandangan di Banjarmasin kala itu tampak kacau bak arena peperangan. Selama itu pula pihak keamanan seakan tak berdaya.

Peristiwa 23 Mei 1997 ini sangat menggores perasaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis apalagi sampai meminta korban jiwa manusia. Kejadian ini semakin melemahkan posisi pemerintahan Orde Baru, karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa.

Musuh-musuh Orde Baru menjadikan peristiwa semacam kerusuhan 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Kasus ini sampai sekarang tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab.

“Gejolak-gejolak yang terjadi di Ibu kota Jakarta menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru diikuti dengan seksama oleh daerah-daerah termasuk Kalimantan Selatan. Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Unlam mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta agar Presiden RI Jenderal Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak lagi memimpin bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis,” tambah Mansyur.