JURNALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Sidang praperadilan terhadap Polda Kalsel mengalami penundaan hingga 17 Januari. Hakim PN Banjarmasin Agus Putu Wiranata meminta pihak pemohon dan termohon melengkapi administrasi terlebih dahulu. Selain itu, dari pemohon masih ada tiga pihak yang tidak hadir dan belum menyerahkan surat kuasa, sementara perwakilan termohon Polda Kalsel diminta melengkapi surat tugas dari Kapolda.”
Kami patuhi keputusan majelis hakim,” imbuh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) H. Boyamin kepada para awak media usai sidang praperadilan, Senin (3/1/2022).
Pihaknya menuntut Polda Kalsel untuk segera mencabut garis polisi di jalur hauling underpass Tatakan Km 101 Kabupaten Tapin. Adanya garis polisi tersebut menurut MAKI, diduga telah membuat ribuan sopir dan pekerja tongkang batu bara menganggur serta kehilangan pendapatan selama lebih dari sebulan terakhir.
H. Boyamin Saiman menegaskan, garis polisi yang kemudian diikuti blokade jalan PT Tapin Coal Terminal (TCT) di Km 101 diduga menyebabkan pengiriman batu bara PT Antang Gunung Meratus (AGM) ke PLN menjadi tidak optimal. Termasuk pengiriman ke berbagai sektor strategis seperti perusahaan semen dan perusahaan lainnya yang selama ini menjadi penggerak ekonomi nasional.
“Kebijakan Polda Kalsel melakukan _police line_ di Km 101 secara tidak langsung diduga ikut memicu krisis batu bara saat ini, karena AGM tidak bisa mengirimkan batu bara ke PLN, dan perusahaan lainnya. Semestinya Polda Kalsel segera mencabut police line itu dan kembali ke konteks hukum, yaitu asas kemanfaatan hukum. Saya berharap di tengah ekonomi sulit dan rakyat yang lapar akibat pandemi Covid-19 ini, jangan membuat kebijakan yang menghambat investasi dan ekonomi seperti perintah Presiden Jokowi,” tegasnya.
Lebih jauh H. Boyamin Saiman mengungkapkan, selama ini AGM merupakan salah satu perusahaan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dengan kontribusi besar terhadap pasokan batu bara domestik. Sepanjang tahun 2021, dari kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang ditetapkan pemerintah minimal 25% dari produksi, kontribusi AGM mencapai lebih dari 39%.
“Kepastian hukum dan investasi harus menjadi prioritas dalam situasi penuh ketidakpastian akibat Covid-19. Hal yang sama, saat ini ribuan sopir dan pekerja tongkang batu bara juga butuh kepastian pendapatan akibat akses pekerjaan mereka ditutup police line oleh Polda Kalsel. Kami berharap sidang praperadilan bisa memberikan kepastian bagi ketersediaan pasokan batu bara nasional dan nasib ribuan orang yang miskin mendadak di Tapin,” ujar H. Boyamin.
Pada tanggal 31 Desember 2021 Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara untuk Kelistrikan Umum. Surat yang ditandatangani Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin itu, dikeluarkan untuk merespon surat Direktur Utama PT PLN (Persero) tanggal 31 Desember 2021 perihal krisis pasokan batu bara untuk PLTU PLN dan Independen Power Producer (IPP).
Akibat krisis pasokan batu bara di dalam negeri, terdapat 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam dan berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional.
“Persediaan batu bara pada PLTU grup PLN dan IPP saat ini kritis dan sangat rendah, sehingga akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional,” tulis surat tersebut, dikutip Senin (3/1/2022).
H. Boyamin menjelaskan, pihaknya memberikan apresiasi terhadap langkah cepat PN Banjarmasin yang langsung menggelar sidang praperadilan setelah sepekan lalu didaftarkan. Menurutnya, proses sidang yang cepat ini menunjukkan bahwa pengadilan juga ingin menciptakan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi ribuan orang yang hidupnya diduga terdampak garis polisi Polda Kalsel tersebut.
“Proses sidang praperadilan ini akan menentukan nasib ribuan pekerja tambang batu bara dan keluarganya. Pemerintah dan PLN juga menunggu pengiriman batu bara dari AGM dapat berjalan optimal lagi, setelah sebulan ini terhenti akibat police line Polda Kalsel dan blokade jalan oleh TCT,” jelas H. Boyamin.
MAKI bersama belasan orang pemohon mewakili asosiasi hauling dan asosiasi tongkang batu bara telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, pada 28 Desember 2021.
Kedua asosiasi tersebut memiliki ribuan anggota yang kini menganggur sejak hadirnya garis polisi pada 27 November 2021.
“Kegiatan penyitaan itu dilakukan tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk berita acara penyitaan hingga permohonan ini diajukan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Banjarmasin. Kami juga meminta ganti rugi atas kebijakan _police line_ Polda Kalsel itu sebesar Rp2 triliun,” tutup H Boyamin.
(SN)